MAKALAH ETIKA BISNIS ISLAM
(INTERVENSI NEGARA SEBAGAI INSTITUSI PELAKSANA BISNIS )
Disusun Oleh :
Abdul Azis Asyari : 152 085 010
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ( IAIN )
MATARAM
2011
BAB
I
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Islam memiliki konsep negara, pemerintahan dan kesejahteraan ekonomi
yang komprehensif. Dalam Islam institusi negara tidak lepas dari konsep
kolektif yang ada dalam landasan moral dan syariah Islam. Konsep ukhuwah,
konsep tausiyah, dan konsep khalifah merupakan landasan pembangunan institusi
Islam yang berbentuk Negara. Imam Al Ghazali menyebutkan bahwa agama adalah
pondasi atau asas, sementara kekuasaan, dalam hal ini Negara, adalah penjaga
pondasi atau asas tadi. Sehingga ada hubungan yang saling menguntungkan dan
menguatkan (simbiosis mutualisme). Di satu sisi agama menjadi pondasi bagi
Negara untuk berbuat bagi rakyatnya menuju kesejahteraan. Sementara Negara
menjadi alat bagi agama agar ia tersebar dan terlaksana secara benar dan
efisien.
Nejatullah Siddiqi menegaskan bahwa masyarakat tidak akan dapat
diorganisir atau diatur menggunakan prinsip-prinsip Islam kecuali menggunakan
Negara sebagai media. Dalam Islam ada beberapa ketentuan yang dijalankan oleh
pemerintah dari sebuah Negara seperti implementasi mekanisme zakat, ketentuan
pelarangan riba, dan implementasi undang-undang hudud (hukum pidana Islam).
Pentingnya peran Negara dalam efektivitas implementasi prinsip syariah pada
setiap sisi kehidupan juga disinggung oleh Yusuf Qordhowi dalam buku beliau
yang berjudul Fikih Daulah, dimana dalam buku beliau dijelaskan bahwa dengan
adanya Negara maka diharapkan risalah Islam dapat terpelihara dan berkembang
termasuk di dalamnya akidah dan tatanan, ibadah dan akhlak, kehidupan, dan
peradaban, sehingga semua sector kehidupan manusia dapat berjalan dengan
seimbang dan harmoni baik secara materi dan ruhani.
BAB II
PEMBAHASAN
I.
TANGGUNG JAWAB NEGARA TERHADAP BISNIS
Peran
Pemerintah Dalam Pengembangan Ekonomi Rakyat
Pemerintah memegang peranan
penting di dalam ekonomi Islam, karena kemajuan suatu negara dapat dilihat dari
kesejahteraan ekonomi rakyatnya. Beberapa peran yang harus dimiliki oleh
pemerintah terkait dengan pengembagan ekonomi kerakyatan, diantaranya adalah
sebagai berikut
Fungsi Negara
Secara
garis besar fungsi Negara yang diungkapkan oleh Yusuf Qordhowi terbagi menjadi
dua yaitu:
1.
Negara berfungsi menjamin segala kebutuhan minimum
rakyat. Fungsi pertama ini bermakna bahwa Negara harus menyediakan atau menjaga
tingkat kecukupan kebutuhan minimum dari masyarakat.
2.
Negara berfungsi mendidik dan membina masyarakat. Dalam
fungsi ini yang menjadi ruang lingkup kerja Negara adalah menyediakan fasilitas
infrastuktur, regulasi, institusi sumber daya manusia, pengetahuan sekaligus
kualitasnya. Sehingga keilmuan yang luas dan mendalam serta menyeluruh (syamil
mutakalimin) tersebut berkorelasi positif pada pelestarian dan peningkatan
keimanan yang telah dimunculkan oleh poin pertama dari fungsi Negara ini.
Tanggung Jawab Pemerintah Menyejahterakan Rakyat
Islam menentukan fungsi pokok
negara dan pemerintah dalam bidang ekonomi, yaitu menghapuskan kesulitan
ekonomi yang dialami rakyat, memberi kemudahan pada akses pengembangan ekonomi
kepada seluruh lapisan rakyat dan menciptakan kemakmuran. Al-Qur’an memaklumatkan visi negara dalam
bidang ekonomi ini :
”Sesungguhnya kamu tidak akan
kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang, dan sesungguhnya kamu tidak
akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari di
dalamnya." (Thaha: 118-119)
Dalam kaitan ini, Imam Al-Ghazali menguraikan
tanggungjawab sosial ekonomi negara :
”Tanggungjawab penguasa adalah membantu rakyat ketika mereka
mengahadapi kelangkaan pangan, kelaparan dan penderitaan, khususnya ketika terjadi
kekeringan atau ketika harga tinggi sampai rakyat mendapat penghasilan kembali,
karena dalam keadaan tersebut sulit bagi mereka memenuhi dua tujuan
tersebut. Dalam kondisi tersebut negara
harus memberi makanan kepada rakyat dan memberikan bantuan keuangan kepada
mereka dari kekayaan negara supaya mereka dapat meningkatkan pendapatan
mereka”.
Al-Mawardi dalam kitabnya al-ahkam al-sulthaniyah menyebut
beberapa tanggungjawab pemerintah dalam bidang ekonomi :
a.
terciptanya lingkungan yang kondusif bagi kegiatan
ekonomi.
b.
pemungutan pendapatan dari sumber-sumber yang
tersedia dan menaikkan pendapatan dengan
menetapkan pajak baru bila situasi menuntut demikian.
c.
penggunaan keuangan negara untuk tujuan-tujuan ya ng
menjadi kewajiban negara.
Prinsip-Prinsip Islam Untuk Kebijakan Ekonomi Publik
Dengan menganalisis sumber
utama al-Qur’an dan al-hadis dengan ditambah studi pustaka, pada bagian ini
penulis memberanikan diri sebagai intelectual excercise menyusun
prinsip-prinsip Islam untuk kebijakan publik:
a. Prinsip
Hakikat Kepemilikan pada Allah swt.
Bahwa alam
semesta beserta isinya termasuk manusia didalamnya adalah makhluk (ciptaan)
Allah SWT.
Oleh karenanya
hakikat kepemilikan bukan pada manusia akan tetapi milik Allah swt, sedangkan
manusia adalah pihak yang diberi amanah untuk mengelola, memelihara dan
memanfaatkan alam semesta ini untuk kemaslahatan seluruh ummat manusia.
Kepemilikan manusia diakui dalam Islam sebagai bagian hasil dari jerih payah
usahanya secara sah.
b. Prinsip
Sumber Pengambilan Keputusan.
Pengambilan
keputusan kebijakan wajib bersandar pada Kitabullah dan Sunnatu Rasulullah saw.
Bila permasalahan memerlukan ketegasan
hukum yang secara langsung berkait dengan masalah tersebut tetapi belum dapat
ditemukan dalam Al-Qur’an maupun as-sunnah maka dipersilakan pada manusia untuk
melakukan ijtihad. Buah ijtihad haruslah
tidak bertentangan dengan syari’ah Allah swt.
c. Prinsip
Musyawarah.
Kebijakan
publik haruslah melalui musyawarah dan mempertimbangkan keseluruhan aspek dan
faktor-faktor yang terkait dengan permasalahan tersebut secara komprehensif
dengan segala akibatnya.
d. Prinsip
Maqashid Syariah.
Kebijakan
publik haruslah mempertimbangkan maqashid syariah.
e. Prinsip
Keadilan dan Kemaslahatan.
Kebijakan
publik harus menjamin keadilan dan kemaslahatan bagi semua.
f.
Prinsip
Kepemimpinan dan Kepatuhan
Bila kebijakan
telah diputuskan dengan musyawarah maka wajib bagi pemimpin untuk mengeksekusi
keputusan itu dan wajib pula bagi yang dipimpin untuk menunjukkan kepatuhan
dalam melaksanakan kebijakan itu.
g. Prinsip
Pertanggungjawaban.
Setiap
kebijakan atau tindakan apapun dan sekecil apapun akan diminta
pertanggungjawabannya dihadapan Allah kelak. Dan setiap kewajiban publik harus
pula dipertanggungdakwakan kepada publik karena menyangkut penggunaan kekuasaan
dan wewenang serta penggunaan aset yang diamanahkan kepada pengambil kebijakan tersebut.
Praktik
Penyelenggaraan Kebijakan Ekonomi Dalam Pemerintahan Islam
Di dalam pemerintahan Islam
dimasa Rasulullah hingga para fukoha, praktik penyelenggaraan kebijakan ekonomi
diatur dengan sedemikian rupa melalui beberapa instrumen kelembagaan yang
terkait seperti penjelasan berikut:
1. Baitul Maal
Baitul Maal
adalah institusi moneter dan fiskal Islam yang berfungsi menampung, mengelola dan mendistribusikan kekayaan
negara untuk keperluan kemaslahatan ummat. Keberadaan baitul maal pertamakali
adalah sejak setelah turun wahyu yang memerintahkan Rasulullah untuk membagikan
ghanimah dari perang Badr.
”Mereka
menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah:
"Harta rampasan perang kepunyaan Allah dan Rasul[593], oleh sebab
itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara sesamamu;
dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang
beriman." (al-Anfal: 1)
Ketentuan Allah tersebut menunjuk Rasulullah sebagai pihak yang
berwenang membagikan ghanimah dan menyimpan sebagiannya, yaitu seperlima bagian
untuk diri dan keluarganya serta anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu
sabil :
”Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai
rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul,
anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada
Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari
Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu” (al-Anfal:41)
Praktik
pengumpulan dan pendistribusian harta yang dilakukan Rasulullah inilah yang
kemudian menjadi cikal bakal baitul maal.
Pada praktiknya, institusi pengumpulan dan pendistribusian harta dimasa
Rasulullah belumlah berupa organisasi yang kompleks, melainkan Rasulullah
dibantu oleh beberapa sahabatnya untuk mencatat pemasukan dan pengeluarannya. Pada kenyataannya harta baitul maal dimasa
Rasulullah langsung dibagikan kepada yang berhak dan untuk kemaslahatan ummat
bahkan bagian dirinya dan keluarganya sendiripun seringkali dilepaskan untuk
yang lebih membutuhkan dan untuk kepentingan ummat. Salah seorang sekretaris
Nabi, Handhalah bin Syafiy meriwayatkan Rasulullah bersabda :
”Tetapkanlah
dan ingatkanlah aku (laporkanlah kepadaku) atas segala sesuatunya. Hal ini beliau ucapkan tiga kali. Handhalah berkata : ”suatu saat pernah tidak
ada harta atau makanan apapun padaku (di baitul maal) selama tiga hari, lalu
aku laporkan pada Rasulullah (keadaan tersebut). Rasulullah sendiri tidak tidur dan di sisi
beliau tidak ada apapun”.
Pada tahun pertama kekhalifahan
Abu Bakar, keadaan seperti itu berlangsung sama. Jika datang harta dari
berbagai daerah taklukan langsung dibawa ke Masjid Nabawi dan langsung
dibagikan. Tetapi pada tahun kedua,
pemasukan harta jauh lebih besar sehingga Abu Bakar pun menjadikan sebagian
ruang dirumahnya sebagai pusat penampungan dan pendistribusian harta itu untuk
kemaslahatan kaum muslimin.
Di era kekhalifahan Umar bin
Khathab, perluasan kekuasaan wilayah Islam berkembang pesat. Persia dan Romawi
berhasil ditaklukan, maka semakin besar volume pundi-pundi kekayaan yang
mengalir ke Madinah. Khalifah Umar pun
memerintahkan untuk membangun tempat khusus sebagai tempat penampungan harta
itu sekaligus ia menyusun struktur organisasi untuk mengurus aktivitas baitul maal tersebut.
Institusi Bentukan Pemerintah Islam Di Masa Awal
Secara umum fungsi baitul maal
adalah membantu negara untuk memungut dan menampung harta yang menjadi hak
masyarakat muslim dari berbagai sumber mata pendapatan negara dan
mendistribusikan kembali kepada masyarakat.
Tujuannya, adalah jangan sampai kekayaan hanya berputar di segelintir
orang kaya saja tetapi terdistribusi secara adil kepada seluruh lapisan
masyarakat dan untuk dibelanjakan untuk kemaslahatan ummat.
Fungsi dan tujuan itu terlihat
nyata dari bentuk struktur organisasi baitul maal dimasa Khlifah Umar bin
Kathab. Umar membentuk :
a. Departemen
Pelayanan Militer.
Fungsi
utama departemen ini, adalah medanai aktivitas dan kebutuhan pasukan termasuk
untuk pembayaran gaji, pensiun dan jaminan masa depan keluarganya.
b. Departemen
Kehakiman dan Eksekutif.
Tugas
departem pokok departemen ini, adalah membiayai aktivitas pelayanan hukum dan
publik termasuk membayar gaji para hakim dan pejabat negara sesuai dengan
kecukupan yang wajar agar mereka tidak melakukan praktik korupsi atau menerima
suap.
c. Departemen
Pendidikan dan Pelayanan Islam
Departemen
bertugas mendistribusikan pembiayaan untuk kebutuhan pencerdasan ummat dan
aktivitas dakwah termasuk pembayaran gaji guru dan juru dakwah serta
keluarganya.
d. Departemen
Jaminan Sosial.
Jaminan
hidup bagi anak-anak yati, kaum fakir dan miskin, janda-jand tua dan orang
jompo, orang cacat, pembiayaan pernikahan, persalinan dan jaminan kebutuhan
hidup keluarga yang tidak mampu dan untuk kemaslahatan ummat lainnya adalah
menjadi tugas utama departemen jaminan sosial ini.
Pada masa umar pula struktur organisasi ini berkembang seiring dengan
perkembangan permasalahan yang terjadi, seperti pembentukan cabang-cabang
baitul maal di wilayah-wilayah taklukan, pembentukan sistim diwan, membentuk
tim sensus penduduk (nassab) untuk menentukan indeks kebutuhan dan jaminan
sosial bagi masyarakat.
Kebijakan Pemerintahan Islam Dalam Menetapkan Anggaran Pendapatan Negara
Dari sumber-sumber mana pembiayaan
sektor publik dalam konsep Islam, akan dijawab dalam bab ini. Bila ditarik
kesimpulan umum dari yang akan didapat dari uraian pada bagian ini, adalah
begitu variatifnya sumber-sumber pendanaan yang dimiliki negara Islam untuk
menyelenggarakan operasional negara.
a.
Zakat, dalam konteks ekonomi modern merupakan :
·
Instrumen distribusi pemerataan pemenuhan kebutuhan
primer. Dengan demikian, permintaan
konsumsi meningkat yang berdampak mendorong tingkat penawaran (produksi). .
·
Investasi dan Penyerapan Tenaga Kerja
Stimulan
zakat membawa multiplier effect, yaitu bergairahnya iklim
investasi. Korelasi lain zakat dan
investasi adalah, bila kekayaan tidak digerakkan dalam perekonomian maka
kekayaan itu akan tergerus nilainya oleh kewajiban zakat. Oleh karenanya zakat dalam Islam merupakan
faktor yeng mendorong kaum muslim untuk melakukan investasi. ”Perdagangkanlah
harta anak yatim sehingga tidak dimakan zakat” (HR Ibnu Qudamah).
Peningkatan investasi akan menyerap tenaga kerja, mengurangi pengangguran yang
selanjutnya akan meningkatkan pendapatan masyarakat.
·
Pertumbuhan ekonomi
Instrumen
zakat mendorong pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok yang selanjutnya
meningkatkan permintaan konsumsi.
Produsen akan meningkatkan produksinya untuk merespon permintaan
konsumsi tersebut dengan mengembangkan investasinya. Bergairahnya iklim investasi akan menyerap
tenaga kerja yang berarti juga semakin mengurangi angka pengangguran sampai
dengan batas pengangguran alamiahnya. Pendapatan perkapita ikut meningkat. Roda
ekonomi masyarakat berputar semakin laju melalui sektor riil. Secara teoritik
dan empirik, ceteris paribus, zakat
mendorong pertumbuhan ekonomi dengan peningkatan pertumbuhan secara
stabil.
·
Keadilan sosial
Multiplier
effect zakat tidak berhenti pada bidang ekonomi tetapi juga
berdampak positif pada pembentukan kondisi sosial-politik. Dengan instrumen zakat, masyarakat menjadi
satu kesatuan dimana semakin mengecil dan tidak mustahil akan melenyapkan social
gap antara kaum yang memiliki akses ekonomi yang lebih luas (aghniya)
dan masyarakat ekonomi lemah (mushtadhafin), karena kekayaan tidak lagi
berputar diantara yang kaya saja tetapi terdistribusi secara adil dan akses
untuk mengembangkan kekayaan bagi masyarakat terbuka luas. ”....supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di
antara kamu.” (al-Hasyr: 7).
Sumber-sumber
zakat, adalah :
·
Emas dan Perak
·
Hewan Ternak
·
Perdagangan
·
Hasil Pertanian (Tanaman dan Buah-buahan)
·
Zakat Temuan dan Tambang
·
Pengembangan Sumber-sumber Zakat di Zaman Modern,
seperti profesi yang tidak memperdagangkan suatu barang tertentu tetapi ia
mendapatkan kekayaan dari keahliannya dalam bidang tertentu (konsultan,
manajer, dokter, akuntan dsbnya), komoditi perdagangan pertanian dan peternakan
yang kitab fiqih tidak memasukannya sebagai obyek zakat tetapi dizaman modern
ini memiliki nilai tinggi, seperti tanaman anggrek atau tanaman hiasa lainnya,
peternakan ikan baik untuk dikonsumsi maupun diperjualbelikan sebagai hiasan,
serta komoditi-komoditi perhiasan lainnya seperti bebatuan alam dan
sebagainya. Begitu pula badan hukum yang mendapatkan keuntungan dari
kegiatan bisnisnya dapat dikenakan pajak.
- Wakaf
- Anfal
(Ghanimah)
- Fa’i
- Khumus
- Kharaj
(Pajak Bumi)
- Jizyah
(Pajak Stabilitas Keamanan)
- Nawaib/Daraib
- ’Usyur (Bea Dan Cukai)
- Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Aset Negara
- Harta Sitaan
Setiap harta
yang diperoleh dengan cara yang melanggar syari’ah akan disita oleh negara dan
dimasukkan dalam baitul maal. Yang
termasuk dalam harta sitaan adalah :
1).
Harta Ghulul, yaitu harta yang didapat dari
penyalahgunaan kekuasaan oleh para pejabat negara, seperti : dari suap, hadiah
atau hibbah kepada pejabat negara, harta yang diperoleh dari memeras dengan
kekuasaan, komisi yang diberikan pejabat karena meluluskan sesuatu dan korupsi.
2).
Harta yang diperoleh dengan cara haram, seperti didapat
dari usaha yang menggunakan riba dan
berjudi . Harta riba wajib
dikembalikan kepada pemiliknya, bila diketahui pemiliknya akan tetapi bila
tidak diketahui harta tersebut dimasukkan kedalam baitul maal. Riba diharamkan oleh al-Qur’an (lihat 2: 275, 278-279)
demikian juga judi, diharamkan. (lihat: 5: 90-91)
3).
Harta yang diperoleh dari denda sebagai sanksi oleh
karena perbuatan dosa, melanggar undang-undang atau sebagai sanksi
administratif.
4).
Harta orang murtad.
Kepada orang murtad, bila setelah diperingatkan untuk bertaubat dalam
tempo tiga hari, tetapi tidak melakukannya maka sanksi hukum untuk mengeksekusi
dan diambil hartanya dan dimasukkan
dalam pos fa’i dan kharaj. Harta warisan dari orang murtad tidak dapat
diwariskan kepada keturunannya meskipun muslim dan demikian juga sebaliknya
seorang muslim yang wafat tidak dapat mewariskan hartanya kepada keturunannya
yang murtad, maka hartanya jatuh ke baitul maal. Rasulullah menegaskan :
”Orang kafir tidak mewarisi orang muslim, demikian juga orang muslim tidak
mewarisi orang kafir”. (HR Mutafaqun alaihi)
- Amwal
Fadhla
- Pinjaman
Bila
keadaan mendesak dan pos pendapatan negara tidak mencukupi kebutuhan dalam
negeri maka pemerintahan Islam dapat
berhutang kepada pihak-pihak lain dengan tanpa riba. Dalam sejarah, pemerintahan Islam hanya
pernah dua kali meminjam, sekali di masa Rasulullah dan sekali lagi di masa
Khalifah Umar bin Khathab. Pemerintahan
Islam dapat membuat skema bagi hasil dengan mekanisme mudharabah, musyarakah
atau murabah untuk menarik investasi pembiayaan belanja negara yang saling
menguntungkan.
Kebijakan Pemerintah dalam Menetapkan Alokasi Anggaran Belanja Negara
- Sistim
Anggaran Belanja
Sistim anggaran belanja pemerintah di masa periode awal
Islam ditentukan oleh jumlah pendapatan yang tersedia. Berdasar jumlah pendapatan negara itu
ditentuk anggaran pengeluaran. Kesimpulan lain dari pola kebijakan anggaran
belanja di era wal Islam, disebutkan M.A. Manan, ”tidak berorientasi pada
pertumbuhan ekonomi”. Kesimpulan
kedua ini hemat penulis belumlah final, terbuka lebar untuk diperdebatkan.
Mengingat terminologi yang dipergunakan al-Qur’an maupun yang ditunjukkan as-Sunnah bahkan realitas
sejarah terutama di masa kekhalifahan Umar membuktikan anggaran belanja
pemerintah tidak hanya habis untuk sekedar menutupi kebutuhan ekonomi masyarakat
tetapi justru memperluas akses ekonomi untuk seluruh lapisan masyarakat dan
mendorong pertumbuhan investasi. Sekedar menunjuk bukti sejarah, adalah
kebijakan Khalifah umar bin Khathab yang memerintah Amr Bina Ash, selaku
Gubernur Mesir, untuk membelanjakan sepertiga aktiva baitul maal untuk
pembangunan infra struktur, seperti
pembangunan kanal antara Kairo dan dan Pelabuhan Suez dan membangun dua pusat
bisnis internasional di kota Kufah dan Basrah dengan tujuan memperlancar
aktivitas perdagangan internasional.
Permasalahan utama yang perlu mendapat porsi pembahasan
yang memadai, adalah menimbang perkembangan sosial ekonomi politik yang telah
sangat berbeda maka sistim anggaran yang bagaimana yang sesuai dengan Islam ?
1).
Alternatif Sistim Anggaran Belanja Negara di Era Modern
Ekonomi modern memperkenalkan empat model anggaran
belanja negara. Yaitu : pertama, anggaran belanja berimbang dimana
penerimaan dan belanja negara adalah sama. Kedua, anggaran belanja
surplus, yaitu penerimaan lebih besar daripada pengeluaran. Ketiga,
anggaran belanja defisit, yaitu anggaran yang menunjukkan lebih besar pasak
daripada tiang. Keempat,
perkembangan terakhir dari sistim anggaran yang ditawarkan oleh para
ahli ekonomi untuk mengefektifkan sistim anggaran, adalah anggaran berdar
program dan prestasi kerja.
Sistim anggaran berimbang oleh banyak ekonom telah
dipandang ortodoks oleh karenanya kecenderungan setelah alternatif kebijakan
anggaran berimbang adalah kebijakan yang berorientasi pada pertumbuhan
ekonomi.
Realitas
sejarah menunjukkan pada kita, Rasulullah hanya sekali menerapkan anggaran
defisit, yaitu ketika jatuhnya kota Mekah.
Hutang negara segera dibayar sebelum genap satu tahun, yaitu setelah
perang Hunain. Selanjutnya pemerintahan
Islam mengambil menerapkan kebijakan anggaran surplus. Tetapi, kita tidak dapat
mengambil kesimpulan begitu saja bahwa anggaran defisit tidak bisa atau
sebaiknya dihindari untuk diterapkan dalam suatu negara Islam. Realitas yang kita hadapi sudah sedemikian
berubah dengan masa Islam awal, mayoritas negeri Islam memiliki sumber dana
domestik yang kurang dari memadai untuk menutupi kebutuhan pembangunan
ekonominya. Kebutuhan pembiayaan belanja negara yang lebih besar dari pos
penerimaannya, sementara pemerintah enggan mengambil kebijakan fiskal dengan
menaikan pajak memaksa pembiayaan belanja negara tersebut didanai dari
pembiayaan defisit. Solusi inipun bukan
tidak mengandung masalah, karena illegalitas meminjam dengan bunga.
Realitas kemampuan ekonomi mayoritas
negara Islam yang kurang mampu membiaya anggaran belanjanya, adalah tidak
mungkin menerapkan anggaran belanja surplus, seperti yang dianjurkan dalam
beberapa literatur.
Dilematika persoalan pilihan
alternatif sistim anggaran inilah yang akan dikemukan dalam bagian akhir
makalah ini.
2).
Dimensi Kemaslahatan Ummat dalam Pilihan Sistim Anggaran
Belanja
Sistim anggaran belanja yang efektif tidak sekedar fokus
pada pengeluaran pembiayaan tetapi terselenggara dan tercapainya target-target
yang direncanakan.
Kaidah-kaidah Islam yang berkaitan dengan kebijakan
ekonomi publik bertujuan mengendalikan pengelolaan anggaran secara efektif dan
efisien. Kaidah Islam dalam bidang
mu’malah, satu sisi terumuskan secara mujmal dan bersifat prinsip, sisi lain bersifat
teknis yang bersifat lentur (flesible) sehingga dimungkinkan penggunaan
ijtihad.
b)
Kaidah Menentukan Kebijakan Publik
Secara umum, Islam mengemukakan kaidah dalam menentukan
kebijakan ekonomi publik, sebagai berikut :
·
Pembelanjaan anggaran berorientasi pada kemaslahatan publik.
·
Alokasi anggaran belanja fokus pada skala prioritas dan
pada hal yang mubah dan tidak ada alasan rasional apapun yang dapat diterima
untuk pembiayaan yang diharamkan Allah SWT.
·
Menghindari masyaqoh (kesulitan) dan mudharat lebih utama daripada melakukan perbaikan.
·
Untuk menghindari kerugian, pengorbanan atau mudharat
bagi publik maka kepentingan individu atau sekelompok orang dapat dikorbankan.
·
Yang mendapat manfaat harus bersedia menanggung beban dan
resiko (algiurmu bil gunmi).
·
Bila untuk menegakkan sesuatu yang wajib, dipersyaratkan
oleh sesuatu yang lain, yang tanpanya kewajiban itu tidak dapat ditunaikan maka
sesuatu itu menjadi wajib”.
Berdasar orientasi kemaslahatan publik maka anggaran
defisit untuk konteks negara memiliki pos penerimaan yang lebih sedikit dari
pos pengeluarannya, kebijakan anggaran defisit dapat menemukan alasan yang
cukup kuat, yaitu bila ternyata dengan pembiayaan defisit itu memacu
pertumbuhan ekonomi secara merata, meningkatkan kesejahteraan rakyat miskin dan
menciptakan peluang kerja yang lebih luas.
Penerapan kebijakan anggaran defisit ini harus diperhitungkan dengan
cermat, jangan sampai pembiayaan belanja negara itu hanya akan meningkatkan GNP
tetapi tidak berdampak positif secara
signifikan terhadap pemerataan dan peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat
miskin, bahkan sebaliknya kebijakan pembiayaan belanja itu hanya akan
menguntungkan kelompok masyarakat aghniya.
Pembiayaan defisit dapat bersumber pada investasi bagi
hasil dengan skema mudharabah, musyarakah, murabaha, atau skema lainnya yang
legalitasnya tidak berbenturan dengan kaidah pokok. Maka, dapat saja pemerintah mengundang
investasi asing untuk menggenapi defisit anggaran sepanjang berdampak positif
dan dominan bagi kemaslahatan publik.
Sesungguhnya sektor hukum mu’amalah memiliki daya lentur
yang membuka peluang besar untuk berijtihad, seperti yang telah dilakukan para
Khulafaur Rasyidin dan para ulama Islam di abad pertengahan. Zakat, misalnya merupakan sumber pendapatan
yang sangat luar biasa bagi negara.
Apabila negara dapat mengelola zakat ini sebagai bagian dari kebijakan
strategis negara, tidak lagi membiarkan pengelolaan zakat oleh
individu-individu atau institusi masyarakat secara terpisah dengan kebutuhan
anggaran negara maka sebagian defisit
anggaran negara dapat ditutupi oleh sektor pendanaan yang tiada pernah habis
ini oleh karena sifatnya yang diwajibkan oleh syari’ah. Besaran zakat yang
tidak pernah disebutkan secara pasti dalam al-Qur’an dalam keadaan tertentu
dapat saja dikenakan lebih besar terhadap kaum aghniya yang selama ini
diuntungkan lebih besar dari berbagai kebijakan negara.
Sektor pendapatan sumber alam yang selama ini dikelola
pihak asing dan lebih menguntungkan investor asing, harus dikaji ulang dengan
perhitungan dan kebijakan sosial politik ekonomi yang lebih memihak pada kemaslahatan
ummat. Kekayaan alam di negara-negara
Islam tersedot habis ke negara-negara maju yang memiliki kemampuan keahlian dan
teknologi pengelolaan sumber daya alam.
Realitas ini menunjukkan untuk mengambil kebijakan yang sinkron antara
kebijakan jangka pendek, menengah dan panjang, antara kebutuhan fiansial jangka
pendek dan pemeliharaan serta pemanfaatan kekayaan alam untuk masa depan
generasi bangsa.
Dalam kaitan itu, kebijakan yang cenderung pada
peningkatan kualitas sumber daya manusia harus mendapat skala prioritas tinggi
disamping pembiayaan kebutuhan jangka pendek karena memberikan efek multiflier
yang sangat signifikan. Keunggulan
negara-negara maju oleh karena keunggulan sumber daya manusia dan tanda-tanda
kehancuran negara-negara maju juga oleh karena kehancuran akhlak (sosial
budaya) masyarakatnya. Realitas menunjukkan ketersediaan kekayaan alam ternyata
tidak meningkatkan kesejahteraan rakyat karena tanpa kemampuan dan kualitas sumber
daya manusianya.
Realitas sejarah juga menunjukkan sumber-sumber
pendapatan negara Islam memiliki variasi yang lebih banyak dan memberikan
kontribusi yang tetap dan sisi pembelanjaannya menciptakan kondisi sosial
politik dan ekonomi yang stabil yang mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih
baik. Kenyataan ini sesungguhnya
merupakan manifestasi dari totalitas komitmen generasi awal Islam terhadap
agamanya sendiri, ad-Diin al-Islam yang kemudian mewujud dalam bentuk
profesionalisme (akhlak) bekerja serta
keberanian untuk berpihak pada kemaslahatan ummat ketimbang orientasi
kekuasaan dan kenikmatan kontemporer yang disuguhkan dunia.
Sedangkan sistim anggaran berbasis program dan prestasi,
yang dalam belakangan terakhir ini dipublikasikan dapat lebih efektif dan
efisien untuk negera-negara berkembang tidaklah cocok, karena persyaratan
penerapan kebijakan anggaran ini adalah kelangkapan dan akurasi data untuk
mengukur satuan biaya untuk setiap rencana program. Kemampuan manajemen dan administrasi pemerintahan
pada umumnya negara Islam masih sangat minim.
c) Pos Alokasi
Anggaran Belanja
Alokasi anggaran belanja negara tidak terlepas dari
tanggungjawab negara yang telah dibahas pada bab awal dalam tulisan ini. Tanggungjawab negara merupakan refleksi dari
persoalan sosial ekonomi politik yang berkembang dan skala dharuriyahnya. Berdasar analisis sejarah dan informasi
literatur tentang distribusi aset negara yang dilakukan baitul maal, maka anggaran belanja dalam negara Islam,
dialokasikan sebagai berikut :
·
Pemenuhan Kebutuhan masyarakat miskin. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat miskin,
anggaran belanja diambil dari mata anggaran zakat, ghanimah dan fa’i.
·
Belanja Pertahanan dan Pasukan Militer. Anggaran
dan termasuk pula membayar jaminan pensiun pasukan beserta keluarga yang
ditinggalkan. Pembiayaannya berasal dari pos ghanimah, fa’i dan zakat.
·
Pelayanan Administrasi.
Semua operasionalisasi negara untuk pelayanan publik dengan kompleksitas
administrasinya dan pembayaran gaji para
aparatur negara, seperti hakim, guru, gubernur, dan pejabat negara lainnya
diambil dari pos fa’i.
·
Jaminan Keamanan Sosial (social security). jaminan
sosial merupakan pemberian jaminan untuk mencukupi kebutuhan hidup minimal
secara kultural yang layak. Jaminan
sosial yang diberikan baitul maal ditujukan kepada para fakir dan miskin,
anak-anak yatim, para janda, para lansia, orang cacat bahkan kepada non muslim
yang tidak mampu, lemah, cacat atau lanjut usia.
·
Pensiunan dan bantuan keuangan untuk para pejuang dan warga
senior yang banyak berjasa pada Islam.
·
Pendidikan. Setiap
program pencerdasan bangsa dan penyebaran dakwah Islam ke berbagai wilayah
dibiayai oleh keuangan publik (baitul maal).
·
Proyek-proyek pembangunan seperti pra sarana dan sarana
kepentingan publik : jalan raya, pengairan lahan pertanian, penerangan,
infrastruktur transportasi, dan proyek-proyek pembangunan lainnya yang
dibutuhkan publik dan mendorong pengembangan kesejahteraan ekonomi sosial maka
menjadi sasaran pembiayaan belanja negara.
d)
Klasifikasi Alokasi Anggaran Belanja
Secara umum, alokasi anggaran belanja pemerintahan Islam,
dapat diklasifikasikan menjadi :
·
Belanja kebutuhan
rutin operasional pemerintahan, mencakup belanja pemenuhan kebutuhan
masyarakat, operasional roda pemerintahan dan jaminan sosial.
·
Belanja Umum, mencakup pengadaan fasilitas dan barang
publik dan pembangunan infrastruktur sosial lainnya.
·
Belanja Proyek peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Mekanisme pembiayaannya proyek peningkatan kesejahteraan rakyat ini bisa melalui
subsidi atau bantuan langsung.
II.
INTERVENSI NEGARA TERHADAP BISNIS
Intervensi
Pemerintah
Menurut
Islam negara memiliki hak untuk ikut campur (intervensi) dalam kegiatan ekonomi
yang dilakukan oleh individu-individu, baik untuk mengawasi kegiatan ini maupun
untuk mengatur atau melaksanakan beberapa macam kegiatan ekonomi yang tidak
mampu dilaksanakan oleh individu-individu. Keterlibatan negara dalam kegiatan
ekonomi pada permulaan Islam sangat kurang, karena masih sederhananya kegiatan
ekonomi yang ketika itu, selain itu disebabkan pula oleh daya kontrol spiritual
dan kemantapan jiwa kaum muslimin pada masa-masa permulaan yang membuat mereka
mematuhi secara langsung perintah-perintah syariat dan sangat berhati-hati
menjaga keselamatan mereka dari penipuan dan kesalahan. Semua ini mengurangi
kesempatan negara untuk ikut campur (intervensi) dalam kegiatan ekonomi.
Seiring
dengan kemajuan zaman, kegiatan ekonomi pun mengalami perkembangan yang cukup
signifikan. Namun perkembangan yang ada cenderung menampakkan komleksitas dan
penyimpangan-penyimpangan etika dalam kegiatan ekonomi. Atas dasar itulah, maka
Ibnu Taimiyah, memandang perlu keterlibatan (intervensi) negara dalam aktifitas
ekonomi dalam rangka melindungi hak-hka rakyat/masyarakat luas dari ancaman
kezaliman para pelaku bisnis yang ada, dan untuk kepentingn manfaat yang lebih
besar. Dalam kaitan
ini, maka intervensi negara dalam kegiatan ekonomi bertujuan:
Menghilangkan kemiskinan. Menurut Ibnu Taimiyah,
menghapuskan kemiskinan merupakan kewajiban negara. Beliau tidak memuji adanya
kemiskinan. Dalam pandangannnya, seseorang harsu hidup sejahtera dan tidak
tergantung pada orang lain, sehingga mereka bisa memenuhi sejumlah kewajibannya
dan keharusan agamanya. Menjadi kewajiban sebuah negara untuk membantu penduduk
agar mampu mencapai kondisi finansial yang lebih baik. Dalam kaitannya dengan daftar pengeluaran publik dari
sebuah negara, ia menulis:
“Merupakan sebuah konsensus umum bahwa siapa pun yang tak
mampu memperoleh penghasilan yang tidak mencukupi harus dibantu dengan sejumlah
uang, agar mampu memenuhi kebutuhannnya sendiri, tak ada perbedaan apakah
mereka itu para peminta-minta atau tentara, pedagang, buruh ataupun petani.
Pengeluaran untuk kepentingan orang miskin (sedekah) tak hanya berlaku secara
khusus bagi orang tertentu. Misalnya seorang tukang yang memiliki kesempatan
kerja, tetapi hasilnya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhannnya. Atau
anggota tentara yang hasil tanah garapannya (iqta’) tak mencukupi
kebutuhannya. Semuanya berhak atas bantuan sedekah”. [28]
Regulasi harga dan pasar
Sebagaimana yang telah dibahas di awal, bahwa masalah
pengawasan atas harga muncul pada masa Rasulullah SAW sendiri sebagaimana yang
telah diceritakan dalam hadits bahwa Rasulullah menolak menetapkan harga.
Beliau menolak dan berkata: “Allah mengakui adanya kelebihan dan kekurangan.
Dialah yang membuat harga berubah dan membuat harga yang sebenarnya (musa’ir).
Saya berdoa agar Allah tak membiarkan ketidakadilan menimpa atas seseorang
dalam darah atau hak miliknya”.
Ibnu Qudamah al-Maqdisi, salah seorang pemikir terkenal
dari mazhab Hambali mengatakan: “Imam (pemimpin pemerintahan) tidak memiliki
wewenang untuk mengatur harga bagi penduduk. Penduduk boleh menjual
barang-barang mereka dengan harga berapa pun yang mereka sukai”. Ibnu Qudamah
mengutip hadits tersebut di atas dan memberikan dua alasan tidak diperkenalkan
mengatur/menetapkan harga. Pertama: Rasulullah SAW tidak pernah menetapkan
harga, meskipun penduduk menginginkannya. Bila itu dibolehkan, pastilah
Rasulullah akan melaksanakannya. Kedua: menetapkan harga adalah suatu
ketidakadilan (kezaliman) yang dilarang. Ini melibatkan hak milik seseorang,
yang di dalamnya setiap orang memiliki hak untuk menjual pada harga berapa pun,
asal ia bersepakat dengan pemiliknya.
Ibnu Qudamah selanjutnya mengatakan bahwa ini
sangat nyata apabila adanya penetapan, dan regulasi serta pengawasan harta dari
pihak pemerintahan akan mendorong terjadinya kenaikan harga-harga barang
semakin melambung (mahal). Sebab jika para pedagang dari luar mendengar adanya
kebijakan pengawasan harga, mereka tak akan mau membawa barang dengannya ke
suatu wilayah dimana ia dipaksa menjual barang dagangannya diluar harga yang
diinginkan. Dan para pedagang lokal, yang memiliki barang dagangan akan
menyembunyikan barang dagangannya. Para konsumen yang membutuhkan akan meminta
barang-barang dagangan dengan tidak dipuaskan keinginannya, karena harganya
melonjak mahal/tinggi. Harga akan meningkat dan kedua belah pihak menderita.
Para penjual akan menderita karena dibatasi menjual barang dagangan mereka, dan
para pembeli menderita karena keinginan mereka tak bisa dipenuhi dan dipuaskan.
Inilah alasan mengapa Ibnu Qudamah melarang regulasi harga oleh pemerintah.
Negara memiliki kekuasaan untuk mengontrol harga dan
menetapkan besarnya upah pekerja, demi kepentingan publik. Ibnu Taimiyah tidak
menyukai pengawasan harga dilakukan dalam keadaan normal. Sebab pada prinsipnya
penduduk bebas menjual barang-barang mereka pada tingkat harga yang mereka
sukai. Melakukan penekanan atas masalah ini akan melahirkan ketidakadilan dan
menimbulkan dampak negatif, di antaranya para pedagang akan menahan diri dari
penjual barang pun atau menarik diri dari pasar yang ditekan untuk menjual
dengan harga terendah, selanjutnya kualitas produk akan merosot yang akan
berakibat munculnya pasar gelap.
Penetapan harga yang tidak adil akan mengakibatkan
timbulnya kondisi yang bertentangan dengan yang diharapkan, membuat situasi
pasar memburuk yang akan merugikan konsumen. Tetapi harga pasar yang terlalu
tinggi karena unsur kezaliman, akan berakibat ketidaksempurnaan dalam mekanisme
pasar. Usaha memproteksi konsumen tak mungkin dilakukan tanpa melalui penetapan
harga, dan negaralah yang berkompeten untuk melakukannya. Namun, penetapan
harga tak boleh dilakukan sewenang-wenang, harus ditetapkan melalui musyawarah.
Harga ditetapkan dengan pertimbangan akan lebih bisa diterima oleh semua pihak
dan akibat buruk dari penetapan harga itu harus dihindari.
Kontrol atas harga dan upah buruh, keduanya ditujukan
untuk memelihara keadilan dan stabilitas pasar. Tetapi kebijakan moneter bisa
pula mengancam tujuan itu, negara bertanggungjawab untuk mengontrol ekspansi
mata uang dan untuk mengawasi penurunan nilai uang, yang kedua masalah pokok
ini bisa mengakibatkan ketidakstabilan ekonomi. Negara harus sejauh mungkin
menghindari anggaran keuangan yang defisit dan ekspansi mata uang yang tidak
terbatas, sebab akan mengakibatkan terjadinya inflasi dan menciptakan
ketidakpercayaan publik atas mata uang yang bersangkutan. Mata uang koin yang
terbuat dari selain emas dan perak, juga bisa menjadi penentu harga pasar atau
alat nilai tukar barang. Karena itu otoritas ekonomi (negara) harus
mengeluarkan mata uang berdasarkan nilai yang adil dan tak pernah mengeluarkan
mata uang untuk tujuan bisnis. Ibnu taimiyah sangat jelas memegang pandangan
pentingnya kebijakan moneter bagi stabilitas ekonomi. Uang harus dinilai
sebagai pengukur harga dan alat pertukaran. Setiap upaya yang merusak
fungsi-fungsi uang akan berakibat buruk bagi ekonomi.
Peranan Lembaga
Hisbah
Lembaga yang bertugas dalam melakukan kontrol harga
disebut dengan hisbah. Rasulullah, sebagaimana dijelaskan diawal,
memandang penting arti dan peran lembaga hisbah (pengawasan pasar). Para
muhtasib (orang-orang yang duduk di lembaga hisbah), pada masa Rasul
sering melakukan inspeksi ke pasar-pasar. Tujuan utamanya untuk mengontrol
situasi harga yang sedang berkembang, apakah normal atau terjadi lonjakan
harga, apakah terjadi karena kelangkaan barang atau faktor lain yang tidak
wajar. Dari inspeksi ini tim pengawas mendapatkan data obyektif yang bisa
ditindak lanjuti sebagai respons. Jika terjadi kelonjakan harga akibat
keterbatasan pasok barang, maka tim pengawasan memberikan masukan kepada
rasulullah dengan target utama untuk segera memenuhi tingkat penawaran, agar
segera tercipta harga seimbang. Namun, tim inspeksi juga tidak akan menutupi
bahwa jika faktor kelonjakan harga karena faktor lain (mungkin penimbunan,
ihtikar maka rasulullah langsung mengingatkan agar tidak melakukan praktek
perdagangan yang merugikan kepentingan masyarakat konsumen. Terjunnya
Rasulullah Saw, segera direspons positif dalam bentuk penurunan harga.
Sementara pedagang Yahudi dan paganis ada tidak berdaya menolak imbauan Rasul.
Dari realitas itu terlihat bahwa lembaga hisbah sejak masa nabi cukup efektif
dalam membangun dinamika harga yang di satu sisi memperhatikan kepentingan
masyarakat konsumen dan di sisi lain tetap menumbuhkan semangat perniagaan para
pelaku ekonomi di pasar-pasar itu.
Setelah Rasulullah Saw wafat, peranan lembaga hisbah diteruskan
oleh Khulafaur Rasyidin. Bahkan ketika khalifah Umar, lembaga hisbah lebih
agersif lagi. Hal ini didasarkan oleh perkembangan populasi yang memaksa
pusat-pusat perbelanjaan juga meningkat jumlahnya. Apabila kondisi ini tidak
diantisipasi dengan sistem kontrol yang ketat dan bijak, akan menjadi
potensi ketidak seimbangan harga yang tentu merugikan masyarakat
konsumen.
Menyadari potensi resiko ini, para khalifah yang empat
memandang penting peran lembaga hisbah. Sejarah mencatat bahwa pada masa
khalifah yang empat, masalah harga dapat dikontrol dan pada barang tertentu
dapat dipatok dengan angka minimum-maksimum yang wajar. Maknanya, di satu sisi,
kepentingan konsumen tetap dilindungi, dan di sisi lain, kepentingan kaum
pedagang tetap diberi kesempatan mencari untung, tetapi dirancang untuk
menjauhi sikap eksploitaasi dan kecurangan.
Yang perlu dicatat, adalah keberhasilan lembaga hisbah
dalam kontrol harga dan pematokan harga wajar (normal). Keberhasilan ini
disebabkan efektifitas kerja tim lembaga hisbah yang commited
terhadap missi dan tugas pengawasan di lapangan. Komitmen ini menjauhkan
seluruh anggota tim untuk melakukan kolusi dan menerima risywah (suap).
Lebih lanjut di dalam salah satu bagian dari bukunya
“Fatawa”, Ibn Taimiyah mencatat beberapa hal menyangkut persoalan harga di
dalam pasar, hubungannya dengan faktor yang mempengaruhi demand dan supply sebagai
berikut :
- Keinginan
konsumen (raghbah) terhadap jenis barang yang beraneka ragam atau
sesekali berubah. Keinginan tersebut karena limbah ruahnya jenis barang
yang ada atau perubahan yang terjadi karena kelangkaan barang yang diminta
(mathlub). Sebuah barang sangat diinginkan jika ketersediaannya
berlimpah, dan tentu akan berpengaruh terhadap naiknya harga.
- Perubahan
harga juga tergantung pada jumlah para konsumen. Jika jumlah para
konsumen dalam satu jenis barang dagangan itu banyak maka harga akan naik,
dan terjadi sebaliknya harga akan turun jika jumlah permintaan kecil.
- Harga akan
dipengaruhi juga oleh menguatnya atau melemahnya tingkat kebutuhan atas
barang karena meluasnya jumlah dan ukuran dari kebutuhan, bagaimanapun
besar ataupun kecilnya. Jika kebutuhan tinggi dan kuat, harga akan naik
lebih tinggi ketimbang jika peningkatan kebutuhan itu kecil atau lemah.
- Harga juga
berubah-ubah sesuai dengan siapa pertukaran itu dilakukan (kualitas
pelangan). Jika ia kaya dan dijamin membayar hutang, harga yang rendah
bisa diterima olehnya, dibanding dengan orang lain yang diketahui sedang
bangkrut, suka mengulur-ulur pembayaran atau diragukan kemampuan
membayarnya.
- Harga itu
dipengaruhi juga oleh bentuk alat pembayaran (uang) yang digunakan dalam
jual beli. Jika yang deigunakan umum dipakai, harga akan lebih rendah
ketimbang jika membayar dengan uang yang jarang ada di peredaran.
- Suatu
obyek penjualan (barang), dalam satu waktu tersedia secara fisik dan pada
waktu lain terkadang tidaj tersedia. Jika obyek penjualan tersedia, harga
akan lebih murah ketimbang jika tidak tersedia. Kondisi yang sama juga
berlaku bagi pembeli yang sesekali mampu membayar kontan karena mempunyai
uang, tetapi sesekali ia tak memiliki dan ingin menangguhnkannya agar bisa
membayar. Maka harga yang diberikan pada pembayaran kontan tentunya akan
lebih murah dibanding sebaliknya.
III.
BATAS- BATAS
INTERVENSI NEGARA TERHADAP BISNIS
Penentuan
Harga Yang Fix.
Tas’ir (penetapan harga) merupakan salah satu praktek yang tidak dibolehkan
oleh syariat Islam. Pemerintah ataupun yang memiliki otoritas ekonomi tidak
memiliki hak dan wewenang untuk menentukan harga tetap sebuah komoditas,
kecuali pemerintah telah menyediakan pada para pedagang jumlah yang cukup untuk
dijual dengan menggunakan harga yang ditentukan, atau melihat dan mendapatkan
kezaliman-kezaliman di dalam sebuah pasar yang mengakibatkan rusaknya mekanisme
pasar yang sehat. Tabi’at (tetap) ini dapat kita lihat dari bagaimana sikap
Rasulullah SAW terhadap masalah ini. Tatkala rasulullah SAW didatangi oleh
seorang sahabatnya untuk meminta penetapan harga yang tetap. Rasulullah SAW
menyatakan penolakannya. Beliau bersabda:
بل ان الله يخفض و يرفع وانى لأرجوا أن ألقى الله وليس لأحد عندى مظلمة (رواه أبو داؤد)
“Fluktuasi harga (turun-naik) itu adalah perbuatan Allah, sesungguhnya
saya ingin berjumpa dengan-Nya, dan saya tidak melakukan kezaliman pada seorang
yang bisa dituntut dari saya”(HR. Abu Dawud)
Dari sini jelas bahwasanya tidak dibenarkan adanya
intervensi atau kontrol manusia dalam penentuan harga itu, sehingga akan
menghambat hukum alami yang dikenal dengan istilah supply and demand.
Yang serupa dengan tas’ir (penetapan harga) dan
sama terkutuknya adalah praktek bisnis yang disebut dengan proteksionisme. Ini
adalah bentuk perdagangan dimana negara melakukan pengambilan tax
(pajak) baik langsung maupun tidak langsung kepada para konsumen secara umum.
Dengan kata lain, ini adalah sebuah proses dimana negara memaksa rakyat untuk
membayar harga yang sangat tinggi pada produksi lokal dengan melakukan proteksi
pada para pelaku bisnis agar terhindar dari kompetisis internasional.
Proteksionisme tidak dihalalkan karena akan memberikan
keuntungan untuk satu pihak dan akan merugikan dan menghisap pihak lain, yang
dalam ini adalah masyarakat umum. Lebih dari itu, proteksi juga merupakan sebab
utama terjadinya inflasi dan akan mengarah pada munculnya kejahatan bisnis yang
berbentuk penyeludupan pasar gelap (black market), pemalsuan dan
pengambilan untung yang berlebihan. Ibnu Qayyim mengatakan, bahwa proteksi
merupakan bentuk tindakan ketidakadilan, yang terjelek/terburuk. Dia
menyatakan bahwa proteksi sangat berbahaya bagi kedua belah pihak baik
protektor maupun orang yang diproteksi, dengan alasan bahwa ini adalah tindakan
peningkatan hak kemerdekaan berdagang yang Allah SWT berikan.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari
hasil pembahasan makalah ini, penulis sedikit dapat menyimpulkan bahwa
pemerintah mempunyai hak atau wawenang menagani bisnis di negaranya, mempunyai
kewajiban terhadap jalnnya bisnis pada Negara, namun Pemerintah juga mempunyai
batasan- batasan bisnis atas hak bisnis
Rakyatnya seperti penjelasan pada makalah ini.
Pemerintah
dalam islam sangat memperhatikan a
ktifitas bisnis rakyat maupun negaranya, berwenang, berkewajiban, dan mempunyai
batasan- batasan yang berlandaskan syari’at yang telah di ajarkan islam, dan
berpedoman pada Al- Qur’an dan Sunah Rosulullah SAW.
DAFTAR PUSTAKA
Karim,
Adiwarman Azwar, 2001. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Yogyakarta,
Pustaka Palajar
Mannan,
Muhammad Abdul. 1993. Islamic
Economic : Theory and Practice (Ekonomi Islam : Teori dan Praktek),
terj. Nastangin, Yogyakarta, Dana Bhakti Wakaf
Qardhawi,
Yusuf. 1997. Daurul Qiyam wa al-Akhlak fi al-Iqtishad al-Islami (Peran Nilai
dan Moral dalam Perekonomian Islam), terj. Didin Hafidhuddin dkk., Jakarta,
Robbani Press
Rahman,
Afzalur, 1995, Economic Doctrines of Islam (Doktrin Ekonomi Islam II),
terj. Soeroyo dan Nastangin, Yogyakarta, Dana Bhakti Wakaf
Ibnu Manzur, Lisan al-‘Arabi, Beirut, Darul
Ihya At-Turast al-‘Araby, Juz 14, hlm. 304.
Afzalur Rahman, Economic Doctrines of Islam,
Edisi Indonesia, Doktrin Ekonomi Islam, jilid 4 Terj. Suroyo Nastangin,
Dana Bhati Wakaf Yogyakarta, 1996, hlm. 161.
Hadits ini dikutip oleh S.M.Yusuf, op.cit., hlm 47
dan Mustaq Ahmad, op.cit, hlm 148t-Tirmizy, Al-Jami Shahih Sunan
At-Tirmizy, No Hadits 1310, Juz III, Dar al-Fikri Beirut, hlm